SURYA.co.id | TULUNGAGUNG – Hamparan persawahan di Desa Jarakan, Kecamatan Gondang dibiarkan begitu saja tanpa tanaman.

Sejauh mata memandang hanya kelihatan tanah yang pecah-pecah karena menghadapi musim panas berkepanjangan.

Padahal dulunya sawah ini salah satu lumbung padi, yang bisa panen sekurangnya tiga kali dalam satu tahun.

Namun kini sawah seluas 26 hektar ini tidak lebih dari hamparan sawah tadah hujan.

“Kondisinya sudah berubah sejak selesainya dibangun bendungan wonorejo. Saluran teknisnya ada, tapi tidak dialiri air,” ujar Kepala Desa Jarakan, Kecamatan Gondang, Su’ad Bagyo, Jumat (13/12/2019).

Sebenarnya saluran teknis ini terhubung dengan saluran dari Waduk Wonorejo, di Kecamatan Pagerwojo.

Namun sejak selesainya bendungan wonorejo, aliran dari waduk ini tidak masuk ke area persawahan warga.

Warga curiga, pihak pengelola Waduk Wonorejo mengutamakan air untuk Pabrik Gula Modjopanggoong dan PDAM Surabaya.

“Jadi ada pintu air di belakang Srabah. Yang ke arah sawah-sawah kami sudah ditutup,” tutur Su’ad.

Akibatnya saluran teknis yang sudah dibangun selama ini kering, tidak mendapat suplai air.

Lahan pertanian teknis ini kini berubah menjadi tadah hujan, yang hanya bisa ditanami padi satu kali.

Selebihnya warga membiarkan sawah kering kerontang tanpa ada tanaman.

“Sebenarnya kami dulu sudah mengupayakan, dengan memberi subsidi benih agar menanam jagung. Tapi tanaman ini dianggap kurang menguntungkan,” sambung Su’ad.

Menurutnya, jagung memang hanya butuh sedikit air, namun tanaman jagung membutuhkan tenaga ekstra untuk melakukan perawatan.

Selain itu untuk menanam jagung, warga butuh bahan bakar untuk mengaliri sawah mereka dengan mesin pompa air.

Namun sering kali pihak desa harus bersitegang dengan petugas SPBU, agar warga diperbolehkan membeli bahan bakar bersubsidi.

“Saya sampai bilang, pindah saja dari Jarakan kalau petani tidak boleh membeli BBM bersubsidi,” tegas Su’ad.

Dari 26 hektar sawah yang kekeringan, 7 hektar adalah sawah bengkok perangkat desa.

Bengkok ini biasanya digarap petani penyewa dari warga Jarakan sendiri.

Bagi para penyewa, mereka hanya mau menyewa sawah yang bisa ditanami padi sekurangnya dua kali.

“Jadi mereka rugi kalau hanya bisa tanam padi sekali. Dampaknya tidak ada yang mau menyewa tanah tadah hujan,” ungkap Su’ad.

Dari informasi yang didapat di lapangan, bukan hanya sawah di Desa Jarakan yang tidak lagi mendapat pasokan air.

Namun tiga desa lainnya, Kauman, Tiudan dan Bolorejo juga mengalami hal serupa.

“Percuma kita bangun saluran irigasi begitu bagus, tapi airnya tidak ada,” pungkas Su’ad.

Hingga berita ini diturunkan, berulang kali SURYA.co.id menghubungi Kepala Sub Divisi ASA I/3 Perum Jasa Tirta, Hadi Witoyo.

Bagaimana reaksi anda mengenai artikel ini ?